Senin, 27 Agustus 2012

SURAT WASIAT DI BAWAH TANGAN


Dapatkah Surat Wasiat Dibuat dengan Akta di Bawah Tangan?
Saya ingin bertanya, sebelum tante saya meninggal, dia (almarhumah) menulis surat di kertas biasa. Rumahnya dia wariskan buat kemenakannya yang merawat dia sampai akhir hayatnya. Lalu surat itu dia titipkan ke saya untuk disimpan dan kalau dia meninggal baru surat itu diperlihatkan ke ayah saya. Yang saya tanyakan, apakah surat itu sah? Sedangkan kemenakannya yang lain menginginkan rumah itu juga. Bagaimana solusinya agar surat itu sah di mata hukum?

Berdasarkan Pasal 874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.

Ketika Tante Saudara ingin menetapkan harta warisannya (dalam hal ini rumah) untuk diberikan kepada ahli waris tertentu, atau dengan kata lain dia ingin melakukan hibah wasiat, harus dibuat surat wasiat.

Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya (Pasal 875 KUHPer).

Lebih jauh dijelaskan oleh J. Satrio dalam bukunya Hukum Waris (hal. 181), ditinjau dari bentuknya –formil– suatu testamen merupakan suatu akta yang memenuhi syarat Undang-Undang (Pasal 930 dst). Ditinjau dari isinya –materiil- testamen merupakan suatu pernyataan kehendak, yang baru mempunyai akibat/berlaku sesudah si pembuat testamen meninggal dunia, pernyataan mana pada waktu si pembuat masih hidup dapat ditarik kembali secara sepihak.

Merujuk pada Pasal 931 KUHPer, surat wasiat hanya boleh dibuat, dengan akta olografis atau ditulis tangan sendiri, dengan akta umum atau dengan akta rahasia atau akta tertutup. Berikut penjelasan singkatnya:

Wasiat Olografis, ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris sendiri kemudian dititipkan kepada notaris (lihat Pasal 932-937 KUHPer);
-   Surat wasiat umum atau surat wasiat dengan akta umum harus dibuat di hadapan notaris (lihat Pasal 938-939 KUHPer);
-   Surat wasiat rahasia atau tertutup pada saat penyerahannya, pewaris harus menandatangani penetapan-penetapannya, baik jika dia sendiri yang menulisnya ataupun jika ia menyuruh orang lain menulisnya; kertas yang memuat penetapan-penetapannya, atau kertas yang dipakai untuk sampul, bila digunakan sampul, harus tertutup dan disegel dan diserahkan kepada Notaris, di hadapan empat orang saksi untuk dibuat akta penjelasan mengenai hal itu (lihat Pasal 940 KUHPer). 

Secara formil, dari beberapa ketentuan KUHPer yang disebutkan di atas, surat wasiat harus dibuat tertulis di hadapan Notaris atau dititipkan/disimpan oleh Notaris.

Untuk akta di bawah tangan yang seluruhnya ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh pewaris, dapat ditetapkan wasiat, tanpa formalitas-formalitas lebih lanjut hanya untuk pengangkatan para pelaksana untuk penguburan, untuk hibah-hibah wasiat tentang pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan badan tertentu, dan perkakas-perkakas khusus rumah (Pasal 935 KUHPer).

Dengan kata lain, wasiat yang dibuat dengan akta di bawah tangan (bukan dengan akta Notariil) tidaklah untuk barang-barang atau harta selain dari pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan badan tertentu, dan perkakas-perkakas khusus rumah.

Syarat-syarat formalitas yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang disebutkan di atas harus dilaksanakan. Bila tidak, surat wasiat tersebut diancam dengan kebatalan (Pasal 953 KUHPer).

Di sisi lain, untuk orang Islam, ketentuan mengenai wasiat diatur dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). KHI tidak mensyaratkan pembuatan wasiat harus tertulis. Pasal 195 ayat (1) KHI menyebutkan, wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris.

Kami kurang jelas apakah wasiat Tante Saudara jelas menyebutkan nama ahli waris yang dikehendakinya secara spesifik, atau sekedar menyebut kemenakan saja, tapi sesuai Pasal 196 KHI dalam wasiat yang dibuat secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

Sehingga, jika nama kemenakan yang dimaksud oleh Tante Saudara sudah jelas, maka kemenakan yang lain tidak mempunyai hak atas warisan (rumah) tersebut kecuali disetujui atau dibagi oleh si penerima warisan yang disebutkan dalam wasiat Tante Saudara. Hal ini dipertegas dalam Pasal 885 KUHPer bahwa bila kata-kata sebuah surat wasiat telah jelas, maka surat itu tidak boleh ditafsirkan dengan menyimpang dan kata-kata itu.

Baik wasiat menurut KUHPer maupun menurut KHI, harus memenuhi syarat formil pembentukannya yaitu menurut KUHPer harus dibuat secara tertulis dengan dua orang saksi dan melalui Notaris, sedangkan menurut KHI bisa berupa lisan maupun tulisan tetapi tetap harus dihadapan dua orang saksi atau notaris. Ketika surat wasiat itu dibuat tidak memenuhi syarat formil, maka surat wasiat tersebut terancam batal. Dan surat wasiat tersebut tidak dapat diubah karena pewaris telah meninggal dunia.  Dengan batalnya surat wasiat, maka pembagian waris akan mengikuti sistem yang dianut, apakah sistem hukum Islam, waris perdata (BW) atau waris adat yang bisa.

Dasar hukum:
1.  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847;
2.  Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar