Sabtu, 15 September 2012

Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan



Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan dan Penggelapan

Tindak pidana penipuan dan penggelapan dalam KUHP diatur pada Buku II tentang Kejahatan terhadap Harta Kekayaan, yaitu berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda yang dimilikinya. Secara umum, unsur-unsur tindak pidana terhadap harta kekayaan ini adalah mencakup unsur obyektif dan unsur subyektif.

Adapun unsur obyektif yang dimaksud adalah berupa hal-hal sebagai berikut :
(1)   Unsur perbuatan materiel, seperti perbuatan mengambil (dalam kasus pencurian), memaksa (dalam kasus pemerasan), memiliki / mengklaim (dalam kasus penggelapan, menggerakkan hati / pikiran orang lain (dalam kasus penipuan) dan sebagainya;
(2)   Unsur benda / barang;
(3)   Unsur keadaan yang menyertai terhadap obyek benda yakni harus merupakan milik orang lain;
(4)   Unsur upaya-upaya tertentu yang digunakan dalam melakukan perbuatan yang dilarang;
(5)   Unsur akibat konstitutif yang timbul setelah dilakukannya perbuatan yang dilarang.

Sedangkan unsur subyektifnya adalah terdiri atas :
(l)    Unsur kesalahan yang dirumuskan dengan kata-kata seperti “dengan maksud”, “dengan sengaja”, “yang diketahuinya / patut diduga olehnya” dan sebagainya; dan
(2)   Unsur melawan hukum baik yang ditegaskan eksplisit / tertulis dalam perumusan pasal maupun tidak.

Mengenai Delik Penipuan, KUHP mengaturnya secara luas dan terperinci dalam Buku II Bab XXV dari Pasal 378 s/d Pasal 395 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus penipuan (tindak pidana pokoknya) terdapat dalam Pasal 378 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling larna 4 (empat) tahun”.

Berdasar bunyi Pasal 378 KUHP diatas, maka secara yuridis delik penipuan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa :
1.    Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menipu orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang dengan kata-kata : “dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau arang lain secara melawan hukum"; dan
2.    Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas : (a) Unsur barang siapa; (b) Unsur menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang; dan (c) Unsur cara menggerakkan orang lain yakni dengan memakai nama palsu / martabat atau sifat palsu / tipu muslihat / rangkaian kebohongan.

Dengan demikian untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku kejahatan penipuan, Majelis Hakim Pengadilan harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penipuan baik unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Hal ini berarti, dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan pelaku penipuan (opzet) secara teori adalah mencakup makna willen en witens (menghendaki dan atau mengetahui), maka harus dapat dibuktikan bahwa terdakwa memang benar telah :

a.    bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum
b.    “menghendaki” atau setidaknya “'mengetahui / menyadari” bahwa perbuatannya sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang kepadanya (pelaku delik).
c.    “mengetahui / menyadari” bahwa yang ia pergunakan untuk menggerakkan orang lain, sehingga menyerahkan suatu benda / memberi hutang / menghapuskan piutang kepadanya itu adalah dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan.

Unsur delik subyektif di atas, dalam praktek peradilan sesungguhnya tidak mudah untuk ditemukan fakta hukumnya. Terlebih lagi jika antara “pelaku” dengan “korban”penipuan semula memang meletakkan dasar tindakan hukumnya pada koridor suatu perjanjian murni. Oleh karena itu, tidak bisa secara sederhana dinyatakan bahwa seseorang telah memenuhi unsur subyektif delik penipuan ini hanya karena ia telah menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada seseorang kemudian orang tersebut tergerak ingin menyertakan modal dalam usaha bisnis tersebut. Karena pengadilan tetap harus membuktikan bahwa ketika orang tersebut menyampaikan informasi bisnis prospektif kepada orang lain tadi, harus ditemukan fakta hukum pula bahwa ia sejak semula memang bermaksud agar orang yang diberi informasi tadi tergerak menyerahkan benda / hartanya dan seterusnya, informasi bisnis tersebut adalah palsu / bohong dan ia dengan semua itu memang bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

Di samping itu, karena sifat / kualifikasi tindak pidana penipuan adalah merupakan delik formil - materiel, maka secara yuridis teoritis juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan dan disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan dalam pasal 378 KUHP. Dan hal demikian ini tentu tidak sederhana dalam praktek pembuktian di Pengadilan. Oleh karenanya pula realitas suatu kasus wan prestasi pun seharusnya tidak bisa secara simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai kejahatan penipuan.

Selanjutnya mengenai Tindak Pidana Penggelapan, KUHP telah mengaturnya dalam Buku II Bab XXIV yang secara keselurahan ada dalam 6 (enam) pasal yaitu dari Pasal 372 s/d Pasal 377 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus dari penggelapan (tindak pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372 KUHP yang berbunyi sebagai berikut : “Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukam memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp.900,-“

Berdasar bunyi Pasal 372 KUHP diatas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa :
1.    Unsur Subyektif Delik
       berupa kesengajaan petaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata : “dengan sengaja”; dan
2.    Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas :
       (a)   Unsur barang siapa;
       (b)   Unsur menguasai secara melawan hukum;
       (c)   Unsur suatu benda;
(d)   Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan
(e)   Unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

Jadi untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku penggelapan, Majelis Hakim Pengadilan pun harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan, apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penggelapan baik berupa unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, kesengajaan pelaku penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang :

a.    “menghendaki” atau “bermaksud” untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum
b.    “mengetahui / menyadari” secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah sebuah benda
c.    “mengetahui / menyadari” bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain
d.    “mengetahui” bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan.

Sedangkan terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut perspektif doktin hukum pidana ada beberapa hal yang harus dipahami juga sebagai berikut :

1.      Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda yang milik orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda milik orang lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum dalam hal ini cukup dan bisa diartikan sebagai “bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat”.
2.      Cakupan makna “suatu benda” milik orang lain yang dikuasai pelaku penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya dapat dipindah-pindahkan atau biasa disebut dengan istilah “benda bergerak”.
3.      Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan, sebagian atau seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah mengandung arti (menurut berbagai Arrest Hoge Raad) bahwa harus ada hubungan langsung yang bersifat nyata antara pelaku dengan benda yang dikuasainya.

Berdasarkan paparan singkat mengenai apakah hakekat perbuatan wan prestiasi, penipuan, dan pengelapan tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa meskipun batas antara ketiganya dalam realitas kasus seringkali memang tipis, namun tetap dapat dibedakan berdasar doktrin-doktrin hukum terkait. Sehingga suatu kasus wan prestasi sebagaimana telah diilustasikan pada pendahuluan, yang hakekatnya merupakan masalah murni keperdataan (kontraktual indivual), semestinya tetap harus dipandang dan diletakkan secara proporsional dan tidak ditarik secara sederhana apalagi dengan “pemaksaan rekayasa” sebagai kasus kejahatan penipuan ataupun penggelapan, terlebih lagi jika hal itu dilakukan dengan maksud atau tujuan-tujuan tertentu. Disini etika berperkara atau mendampingi perkara seorang klien yang berbasis filosofi pengungkapan dan pembelaan yang benar (bukan sekedar yang bayar), menjadi hal yang signifikan untuk direnungkan dan lebih penting lagi ialah dipraktekkan.

Senin, 27 Agustus 2012

SURAT WASIAT DI BAWAH TANGAN


Dapatkah Surat Wasiat Dibuat dengan Akta di Bawah Tangan?
Saya ingin bertanya, sebelum tante saya meninggal, dia (almarhumah) menulis surat di kertas biasa. Rumahnya dia wariskan buat kemenakannya yang merawat dia sampai akhir hayatnya. Lalu surat itu dia titipkan ke saya untuk disimpan dan kalau dia meninggal baru surat itu diperlihatkan ke ayah saya. Yang saya tanyakan, apakah surat itu sah? Sedangkan kemenakannya yang lain menginginkan rumah itu juga. Bagaimana solusinya agar surat itu sah di mata hukum?

Berdasarkan Pasal 874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.

Ketika Tante Saudara ingin menetapkan harta warisannya (dalam hal ini rumah) untuk diberikan kepada ahli waris tertentu, atau dengan kata lain dia ingin melakukan hibah wasiat, harus dibuat surat wasiat.

Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya (Pasal 875 KUHPer).

Lebih jauh dijelaskan oleh J. Satrio dalam bukunya Hukum Waris (hal. 181), ditinjau dari bentuknya –formil– suatu testamen merupakan suatu akta yang memenuhi syarat Undang-Undang (Pasal 930 dst). Ditinjau dari isinya –materiil- testamen merupakan suatu pernyataan kehendak, yang baru mempunyai akibat/berlaku sesudah si pembuat testamen meninggal dunia, pernyataan mana pada waktu si pembuat masih hidup dapat ditarik kembali secara sepihak.

Merujuk pada Pasal 931 KUHPer, surat wasiat hanya boleh dibuat, dengan akta olografis atau ditulis tangan sendiri, dengan akta umum atau dengan akta rahasia atau akta tertutup. Berikut penjelasan singkatnya:

Wasiat Olografis, ditulis tangan dan ditandatangani oleh pewaris sendiri kemudian dititipkan kepada notaris (lihat Pasal 932-937 KUHPer);
-   Surat wasiat umum atau surat wasiat dengan akta umum harus dibuat di hadapan notaris (lihat Pasal 938-939 KUHPer);
-   Surat wasiat rahasia atau tertutup pada saat penyerahannya, pewaris harus menandatangani penetapan-penetapannya, baik jika dia sendiri yang menulisnya ataupun jika ia menyuruh orang lain menulisnya; kertas yang memuat penetapan-penetapannya, atau kertas yang dipakai untuk sampul, bila digunakan sampul, harus tertutup dan disegel dan diserahkan kepada Notaris, di hadapan empat orang saksi untuk dibuat akta penjelasan mengenai hal itu (lihat Pasal 940 KUHPer). 

Secara formil, dari beberapa ketentuan KUHPer yang disebutkan di atas, surat wasiat harus dibuat tertulis di hadapan Notaris atau dititipkan/disimpan oleh Notaris.

Untuk akta di bawah tangan yang seluruhnya ditulis, diberi tanggal dan ditandatangani oleh pewaris, dapat ditetapkan wasiat, tanpa formalitas-formalitas lebih lanjut hanya untuk pengangkatan para pelaksana untuk penguburan, untuk hibah-hibah wasiat tentang pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan badan tertentu, dan perkakas-perkakas khusus rumah (Pasal 935 KUHPer).

Dengan kata lain, wasiat yang dibuat dengan akta di bawah tangan (bukan dengan akta Notariil) tidaklah untuk barang-barang atau harta selain dari pakaian-pakaian, perhiasan-perhiasan badan tertentu, dan perkakas-perkakas khusus rumah.

Syarat-syarat formalitas yang ditetapkan dalam pasal-pasal yang disebutkan di atas harus dilaksanakan. Bila tidak, surat wasiat tersebut diancam dengan kebatalan (Pasal 953 KUHPer).

Di sisi lain, untuk orang Islam, ketentuan mengenai wasiat diatur dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”). KHI tidak mensyaratkan pembuatan wasiat harus tertulis. Pasal 195 ayat (1) KHI menyebutkan, wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan notaris.

Kami kurang jelas apakah wasiat Tante Saudara jelas menyebutkan nama ahli waris yang dikehendakinya secara spesifik, atau sekedar menyebut kemenakan saja, tapi sesuai Pasal 196 KHI dalam wasiat yang dibuat secara tertulis maupun lisan harus disebutkan dengan tegas dan jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima harta benda yang diwasiatkan.

Sehingga, jika nama kemenakan yang dimaksud oleh Tante Saudara sudah jelas, maka kemenakan yang lain tidak mempunyai hak atas warisan (rumah) tersebut kecuali disetujui atau dibagi oleh si penerima warisan yang disebutkan dalam wasiat Tante Saudara. Hal ini dipertegas dalam Pasal 885 KUHPer bahwa bila kata-kata sebuah surat wasiat telah jelas, maka surat itu tidak boleh ditafsirkan dengan menyimpang dan kata-kata itu.

Baik wasiat menurut KUHPer maupun menurut KHI, harus memenuhi syarat formil pembentukannya yaitu menurut KUHPer harus dibuat secara tertulis dengan dua orang saksi dan melalui Notaris, sedangkan menurut KHI bisa berupa lisan maupun tulisan tetapi tetap harus dihadapan dua orang saksi atau notaris. Ketika surat wasiat itu dibuat tidak memenuhi syarat formil, maka surat wasiat tersebut terancam batal. Dan surat wasiat tersebut tidak dapat diubah karena pewaris telah meninggal dunia.  Dengan batalnya surat wasiat, maka pembagian waris akan mengikuti sistem yang dianut, apakah sistem hukum Islam, waris perdata (BW) atau waris adat yang bisa.

Dasar hukum:
1.  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Staatsblad Nomor 23 Tahun 1847;
2.  Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.